SEMARANG – “Hujatan dan hinaan itu biasa bagi saya. Tapi, jadikan itu motivasi untuk pembuktian, bahwa kita memang bisa,” kata Darwati, seorang pembantu rumah tanga yang berhasil memperoleh gelar sarjana terbaik di kampusnya di Kota Semarang, Rabu (20/5/2015).
Darwati, kini berusia 23 tahun, memang seorang pembantu rumah tangga.
Tiap hari, ia bekerja, mulai dari mengepel, menyapu rumah, hingga membersihkan pekarangan majikannya di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Pekerjaan itu dijalaninya hampir selama lima tahun, semenjak ia belum masuk kampus.
Saat hendak masuk kuliah, ia minta izin kepada majikannya.
Beruntung, sang majikan merestui langkahnya.
Dia bergegas mendaftar diri ke universitas yang ditujunya.
Gadis dari desa Gulungan Rt 02/1 Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah itu masuk dan mengambil kuliah jurusan administrasi publik di kampus Universitas 17 Agustus 1945 di Kota Semarang, sejak tahun 2011 lalu.
Darwati pun berhasil duduk di bangku kuliah, menimba ilmu. Tiap awal pekan, atau ketika ada jadwal kuliah, ia minta izin dari pekerjannya.
Selama tiga hari (Senin, Selasa, dan Rabu), dia meninggalkan kerjanya untuk belajar.
Selain hari itu, dia pulang dan kembali bekerja di rumah majikannya di Jalan Hayam Wuruk, Purwodadi.
Darwati mengaku sadar betul dengan kondisinya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Namun, alasan tersebut nyatanya tak menjadi halangan serius.
Dengan keinginan kuat untuk memperbaiki nasib, Darwati meneruskan niatnya belajar.
Proses yang “berat” itu ternyata membuat pribadi Darwati menjadi lebih tangguh.
Gadis berparas ayu ini pun lulus dengan predikat cum laude dengan indeks prestasi kumulatif 3,68 itu akhirnya mampu mewujudkan mimpinya.
Upahnya sebagai PRT semula hanya sebesar Rp300.000 per bulan.
Uang itu sebagian disisihkan. Selama 4,5 tahun bekerja, upahnya perlahan naik, hingga ia merasakan upahnya cukup untuk membiayai biaya kuliahnya hingga lulus kuliah.
“Bayar kuliahnya per semester Rp 2,5 juta. Upah saya kalau dikumpulkan ya, sudah cukup untuk bayar kuliah. Kalau merasa butuh banget, baru minta bantuan orangtua di kampung. Kadang pas mau kuliah ke Semarang dikasih uang saku sama majikan,” kata Darwati.
Menyeimbangkan kuliah dan bekerja sebagai PRT diakui Darwati sangat sulit, terutama ketika harus membagi waktu.
Terlebih, pekerjaan secara fisik yang dilakukannya tentu akan berimbas pada konsentrasinya.
“Kadang, apa yang disampaikan dosen ya lewat kuping saja. Tidak masuk, karena saya tidak fokus, karena capek juga,” ucap dia.
Kendati demikian, dia mengaku tetap bersungguh-sungguh dan berniat menjalaninya.
Hasilnya, saat wisuda yang digelar Selasa (19/5/2015) kemarin, ia didapuk sebagai sarjana terbaik di jurusannya, administrasi publik.
“Saya masih belum bisa menyangka, saya ternyata bisa berhasil,” tuturnya.
Dia pun lantas berujar, selama pekerjaannya halal, pekerjaan apapun akan dilakukan, termasuk menjadi PRT.
Jika ada orang yang menghina, bahkan menyepelekan, hal itu harus dijadikan motivasi untuk menggapai perubahan.