PONOROGO - Pemutaran film perjuangan Pasukan Berani Mati yang
sudah ditayangkan di sejumlah SD di Kabupaten Ponorogo, akhirnya dihentikan.
Dinas Pendidikan Ponorogo yang sebelumnya memberikan surat rekomendasi kepada
pihak ketiga (swasa) terkait pemutaran film perjuangan di lembaga SD ini,
akhirnya mencabut dan menghentikannya.
Pernyataan tegas soal pencabutan ijin pemutaran film yang sebenarnya tentang menumbuhkan semangat patriotisme dan rasa nasionalisme pada diri anak disampaikan Plt Kepala Dinas Pendidikan Ponorogo, Tutut Erliena, Rabu (6/4).
Penghentian pemutaran film perjuangan berdurasi 75 menit yang sudah berlangsung sejak Nopember 2015 kemarin, tidak mendasarkan pada pesan moral yang disampaikan pada film tersebut. Malainkan dari penyalahgunaan pihak ketiga yang menimbulkan keresahan wali murid. Pasalnya, dalam pemutaran film itu ditarif 5000 per siswa.
“Jadi itu, sebernarnya kesalahan pada di fihak ketiga dalam pemutar film pasukan berani mati. Karena saat minta rekomendasi di Diknas waktu itu tidak ada kaitannya dengan uang. Dan itu minta rekomnya di tahun 2015. Dan tidak muncul uang Rp 5000. Dan itu jelas menyalahi,” kata Plt Kadiknas Tutut Erliena.
Berdasarkan surat rekom diknas itu, Tutut menjelaskan, sebenarnya tidak ada kewajiban dan lembaga sekolah berhak memilih untuk menolak atau menyetujui pemutaran film itu.
“Jadi kalau tidak ya tidak apa-apa, sebenarnya begitu. Namun dalam perjalannya ternyata meresahkan dan didalam filmnya itu , katanya, karena saya sendiri juga belum melihat, ada kekerasannya. Dengan gejolak itu, maka hari ini kita stop,” katanya.
Atas hal itu, Plt kadiknas lantas memimta kepala upt supaya lebih teliti membaca dan menelaak surat dari diknas.
”Untuk itu Saya sudah mengatakan kepada semua UPTD, ketika ada rekom dari diknas dibaca dengan jelas, kalau memang itu tidak setuju ya tidak apa-apa. Itu juga dipikirkan kalau ada tarikan 5000, kemudian isi filmya seperti apa, itu juga dipikirkan,” tukasnya.
Budi, salah satu wali murid SD di wilayah Ngrayun mengaku keberatan dengan pemutaran film ini.
“Tujuannya untuk mengenalkan sejarah perjuangan itu sebenarnya bagus, tapi ada adegan kekerasan yang tidak cocok untuk anak. Apalagi anak ditarik tarif 5000 dan seolah wajib ditonton,” kata Budi.
Sementara itu, salah satu kepala sekolah yang enggan disebut namanya, membenarkan bahwa di sekolahnya telah melakukan pemutaran film ini. Namun pihaknya membantah adanya kewajiban untuk menontonnya.
“Tidak wajib. Jadi tidak wajib anak harus nonton. Juga tidak wajib yang menonton harus membayar. Disini suka rela,” katanya.
Polemik pemutaran film ini nampaknya sempat mendapat sambutan oleh sejumlah lembaga SD dalam kaitan mewarnai proses KBM agar tidak menjenuhkan. Kabarnya, sejumlah lembaga SD bahkan juga meminta kepada para siswanya untuk membuat resume usai menonton film perjuangan itu.
Pernyataan tegas soal pencabutan ijin pemutaran film yang sebenarnya tentang menumbuhkan semangat patriotisme dan rasa nasionalisme pada diri anak disampaikan Plt Kepala Dinas Pendidikan Ponorogo, Tutut Erliena, Rabu (6/4).
Penghentian pemutaran film perjuangan berdurasi 75 menit yang sudah berlangsung sejak Nopember 2015 kemarin, tidak mendasarkan pada pesan moral yang disampaikan pada film tersebut. Malainkan dari penyalahgunaan pihak ketiga yang menimbulkan keresahan wali murid. Pasalnya, dalam pemutaran film itu ditarif 5000 per siswa.
“Jadi itu, sebernarnya kesalahan pada di fihak ketiga dalam pemutar film pasukan berani mati. Karena saat minta rekomendasi di Diknas waktu itu tidak ada kaitannya dengan uang. Dan itu minta rekomnya di tahun 2015. Dan tidak muncul uang Rp 5000. Dan itu jelas menyalahi,” kata Plt Kadiknas Tutut Erliena.
Berdasarkan surat rekom diknas itu, Tutut menjelaskan, sebenarnya tidak ada kewajiban dan lembaga sekolah berhak memilih untuk menolak atau menyetujui pemutaran film itu.
“Jadi kalau tidak ya tidak apa-apa, sebenarnya begitu. Namun dalam perjalannya ternyata meresahkan dan didalam filmnya itu , katanya, karena saya sendiri juga belum melihat, ada kekerasannya. Dengan gejolak itu, maka hari ini kita stop,” katanya.
Atas hal itu, Plt kadiknas lantas memimta kepala upt supaya lebih teliti membaca dan menelaak surat dari diknas.
”Untuk itu Saya sudah mengatakan kepada semua UPTD, ketika ada rekom dari diknas dibaca dengan jelas, kalau memang itu tidak setuju ya tidak apa-apa. Itu juga dipikirkan kalau ada tarikan 5000, kemudian isi filmya seperti apa, itu juga dipikirkan,” tukasnya.
Budi, salah satu wali murid SD di wilayah Ngrayun mengaku keberatan dengan pemutaran film ini.
“Tujuannya untuk mengenalkan sejarah perjuangan itu sebenarnya bagus, tapi ada adegan kekerasan yang tidak cocok untuk anak. Apalagi anak ditarik tarif 5000 dan seolah wajib ditonton,” kata Budi.
Sementara itu, salah satu kepala sekolah yang enggan disebut namanya, membenarkan bahwa di sekolahnya telah melakukan pemutaran film ini. Namun pihaknya membantah adanya kewajiban untuk menontonnya.
“Tidak wajib. Jadi tidak wajib anak harus nonton. Juga tidak wajib yang menonton harus membayar. Disini suka rela,” katanya.
Polemik pemutaran film ini nampaknya sempat mendapat sambutan oleh sejumlah lembaga SD dalam kaitan mewarnai proses KBM agar tidak menjenuhkan. Kabarnya, sejumlah lembaga SD bahkan juga meminta kepada para siswanya untuk membuat resume usai menonton film perjuangan itu.