Vonis hukuman gantung yang dijatuhkan pengadilan Malaysia kepada Rita Krisdianti, tenaga kerja Indonesia (TKI), menyita perhatian publik. Banyak pihak percaya, Rita bukan korban terakhir.
Berdasarkan catatan Migrant Care per Oktober 2015, setidaknya ada 281 buruh migran asal Indonesia yang terancam hukuman mati. Jumlah itu tak main-main dan pencegahan agar angkanya tidak terus bertambah harus maksimal.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengungkapkan, pencegahan ini terkait dengan peran pemerintah, termasuk penyalur jasa tenaga kerja dalam menyiapkan tenaga kerja. Menyiapkan mereka, kata dia, bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga mentalitas.
"Tenaga kerja kita kan harus tahu persis dia akan bekerja di lingkungan yang seperti apa," kata Arsul di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (2/6/2016).
Arsul mengungkapkan, karakter tenaga kerja dari sisi emosional dan psikis juga patut diperhatikan. Karena karakter masyarakat dari daerah tertentu masih memiliki tingkat temperamen yang cukup tinggi.
Hal itu, kata dia, perlu mendapat perhatian lebih. Kematangan emosi juga perlu dinilai, sebab itu dapat menjadi salah satu bentuk pencegahan.
Tidak hanya itu, para tenaga kerja juga perlu ditumbuhkan kesadarannya. Ia percaya, para TKI yang mendapatkan vonis hukuman mati sejatinya tidak memiliki niat jahat.
"Kalau dia sampai tersangkut perkara pidana, itu karena ada perstiwa pidana lain yang mereka alami lebih dulu. Misal dianiaya terus menerus, hak-hak tidak diberikan, sehingga sampai pada satu titik tenaga kerja kita emosinya tidak terkendali," jelas dia.
Pada posisi itu yang bersangkutan melakukan Tindak pidana. Hal semacam ini, menurut saya masih sangat mungkin untuk bisa dilakukan pencegahan.
Menunggu Upaya Pemerintah
Terkait hukuman gantung yang diberikan kepada Rita, politikus PPP itu mengatakan, pemerintah sebetulnya dapat memberi bantuan hukum kepada TKI asal Ponorogo, Jawa Timur, itu. Ia berharap, pemerintah memberikan bantuan hukum secara maksimal.
"Tentu kita berharap kalau ada penasihat hukum yang lebih kuat, maka pembelaan bisa diberikan secara maksimal. Apalagi kalau ternyata ada faktor-faktor yang bisa membebaskan atau meringankan terdakwa untuk lepaskan dia dari ancaman hukuman mati," kata dia.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menambahkan, bila perlu pemerintah mengintervensi proses peradilan yang tengah berjalan di Malaysia. Pemerintah, lanjutnya, juga diminta melibatkan lembaga-lembaga terkait, seperti Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI).
Wakil Ketua Umum Gerindra ini menegaskan, hukuman mati kepada TKI tidak hanya terjadi satu dua kali. Masalah itu harus dituntaskan.
Fadli juga mengingatkan, meski berupaya semaksimal mungkin, pemerintah tidak boleh melanggar hukum yang berlaku di Malaysia.
"Tentu kita harus menghargai hukum di negara lain. Tapi, jangan sampai mereka (TKI) dihukum jauh dari apa yang mereka lakukan, bahkan jangan sampai dikriminalisasi. Saya kira negara wajib membela," kata dia.
Pemerintah sejauh ini juga telah memberikan pendampingan hukum kepada Rita. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga menegaskan saat ini pemerintah berupaya melakukan banding atas vonis yang dijatuhkan kepada Rita.
Rita adalah buruh migran yang sudah sejak Januari 2013 bekerja di Hong Kong. Tapi, belum genap tiga bulan bekerja, Rita dipecat.
Dia kemudian dikembalikan kepada agensi di Hong Kong pada April 2013. Oleh agen, Rita dikirim ke Makau untuk menunggu job dan visa. Dalam masa penantiannya, Rita memutuskan untuk kembali pulang ke Ponorogo pada Juli 2013, karena tak kunjung menerima kejelasan dari pihak agensi.
Selama masa tunggu pulang tersebut, teman satu kos Rita yang berinisial ES dan RT, menawarkan pekerjaan sampingan kepada Rita yang bisa dijalankan di kampung halaman. Secara terpisah, menurut penuturan ibunda Rita, Poniyati, saat itu Rita ditawari berbisnis kain dan pakaian melalui jaringan temannya.
Atas arahan temannya, rute perjalanan pulang Rita berubah menjadi Makau-Bangkok-New Delhi-Penang-Jakarta. Di New Delhi, Rita dititipi sebuah koper yang kemudian dibawanya ke Bandara Penang, Malaysia. Tanpa sepengetahuan Rita, koper itu ternyata berisi narkoba seberat 4 kilogram.
Rita sendiri mengaku, koper yang dia bawa merupakan koper titipan yang menurutnya berisi pakaian untuk diberikan kepada seseorang. Rita bahkan mengaku, tidak memiliki kunci koper itu.