info media
Belakangan beredar kesan seolah-olah Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sungguh berbenturan. Kesan ini dikuatkan oleh terbitnya buku Benturan NU & PKI, 1948-1965 (Depok: Langgar Swadaya Nusantara, 2014) yang dianggap merupakan suara resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Buku ini terbit bukan tanpa alasan. Suara-suara yang menggambarkan keterlibatan NU, khususnya Barisan Ansor Serbaguna (Banser), dalam aksi pembunuhan massal anggota PKI selama Prahara 1965 terasa memojokan—misalnya, Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965 (Jakarta: Tempo Publishing, 2013). Seolah-olah NU sedemikian brutalnya. Merespons hal ini, tidak sedikit orang NU yang meradang.
Masalahnya, jika NU terlibat dalam pembunuhan massal anggota PKI selama Prahara 1965, apakah NU kemudian diuntungkan? Dengan ungkapan lain, apakah setelah tragedi itu NU keluar sebagai pemenang? Dengan mengajukan pertanyaan seperti ini, saya melihat kita bisa mendudukan perkaranya secara seimbang. Bagi kalangan internal NU, pertanyaan tersebut penting diajukan untuk mengevaluasi keterlibatannya dalam Prahara 1965. Jangan-jangan NU, seperti juga PKI, pada dasarnya adalah sama-sama korban dari suatu ambisi politik yang merendahkan martabat kemanusiaan?
Konteks Pra-1965
Setidaknya terdapat dua kelompok utama dalam perdebatan mengenai Prahara 1965 di Indonesia. Kelompok pertama selalu menekankan cerita-cerita tentang serangan kasar PKI, yang memuncak di Madiun 1948, terhadap lawan-lawannya. Kelompok kedua selalu menonjolkan kepiluan anggota PKI yang dibantai setelah kekalahan telak dan cepat Gerakan 30 September (Gestapu)/Gerakan 1 Oktober (Gestok).
Menurut saya, kedua kelompok tersebut menawarkan fakta yang sama-sama valid, sehingga jika sekarang kita berbicara tentang rekonsiliasi, maka ia harus mencakup periode sebelum dan setelah 1965. PKI jelas pihak yang kalah, korbannya paling banyak, efeknya masih membekas hingga sekarang. Meski demikian, lawan-lawan politik PKI dari kalangan sipil, termasuk NU, tidak bisa dikatakan sebagai pemenang. Mereka adalah korban dari manipulasi dan ambisi politik biadab penguasa militer Orde Baru yang secara cerdik memanfaatkan situasi tidak menentu pada masa itu.
Selain dinamika aktor seperti dijelaskan di atas, struktur politik ekonomi pada tataran internasional dan domestik turut menghadap-hadapkan warga sipil pada posisi saling berseberangan. Kita tahu Perang Dingin pada waktu itu memberi pengaruh kuat, sehingga situasi menjadi sangat konfliktual. Perseteruan bukan hanya antara blok Barat (AS-Kapitalis) dan blok Timur (US-Komunis), tetapi juga terjadi di kalangan komunis, yaitu antara Moskow dan Peking. Dua blok komunis internasional ini saling berebut pengaruh. PKI di bawah Aidit lebih dekat dengan Peking, berbeda dengan PKI sebelumnya di bawah Musso yang menginduk ke Moskow.
Pada tingkat lokal, perseteruan di antara individu dan kelompok sosial semakin memanas setelah munculnya isu aksi sepihak. Berdasarkan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pemerintah berkewajiban mendistribusikan lahan kepada para petani tuna tanah. UU ini sendiri adalah respons terhadap proyek nasionalisasi aset-aset peninggalan Belanda di Indonesia. Namun kenyataannya program reforma agraria tersebut kurang berjalan mulus sehingga menimbulkan banyak sengketa. Dalam situasi ini, PKI sering melakukan agitasi yang dipandang berlebihan oleh lawan-lawan politiknya.
Perseteruan melebar hingga ke urusan kebudayaan. Harap diingat pada masa itu Indonesia belum lama merdeka dan berbagai pihak memperebutkan tafsir mengenai bagaimana Indonesia seharusnya. Dari kalangan Muslim muncul Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) dan Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) yang sering berseteru dengan para aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Perseteruan tersebut kadang berlangsung keras. Secara simbolis salah satu puncak perseteruan itu mengemuka dalam penandatanganan Manifesto Kebudayaan oleh beberapa aktivis yang dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang telah dibubarkan oleh Sukarno.
Dalam situasi yang semakin memanas menjelang 1965, orang-orang percaya bahwa pilihannya adalah ‘membunuh’ atau ‘dibunuh’. Situasi ini diperparah dengan kelambanan Sukarno beberapa saat setelah terjadinya peristiwa pembunuhan enam orang petinggi Angkatan Darat pada malam 1 Oktober 1965. Dia tidak segera mengeluarkan keputusan tegas mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dan harus bagaimana mengatasinya. Melihat kondisi yang tidak menentu ini, Soeharto sebagai Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) melakukan aksinya dengan sangat efektif. Dia segera mengamankan ibukota dan memerintahkan tentara, khususnya Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD ) di bawah Sarwo Edhie Wibowo, untuk menumpas keberadaan PKI di beberapa daerah.
1965 sebagai Titik Balik
Peristiwa 1965 adalah titik balik dalam sejarah Indonesia. Setelah terjadi pembunuhan enam orang jenderal dan seorang kapten Angkatan Darat di Jakarta, suatu prahara terjadi dengan meminta korban jiwa berkisar antara 300 ribu hingga 2,5 juta orang. Masalahnya, hingga hari ini Prahara 1965 itu masih diselubungi tabir kelam. Dalam historiografi resmi yang disusun selama Orde Baru, narasi yang ditampilkan dibatasi pada peristiwa pembunuhan para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai pelakunya.
Akan tetapi, prahara sesungguhnya justru terjadi setelah itu. Sejak Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Sukarno, pembunuhan terhadap siapa saja yang dituduh terlibat PKI berlangsung massif. Pembunuhan massal ini dilakukan secara terorganisasi oleh militer (Angkatan Darat) dengan bantuan beberapa kelompok sipil. Ladang pembantaian terbesar berada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara selama kurun akhir 1965 hingga pertengahan 1966.
Anggota PKI yang tidak dibunuh dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik tanpa melewati proses pengadilan. Jumlahnya mencapai 15.000 orang. Pada tahun 1979 secara berangsur para tapol tersebut dibebaskan. Meski demikian, mereka tidak pernah memperoleh hak sebagai warga negara sepenuhnya. Selain itu, terdapat juga kaum eksil di luar negeri yang jumlahnya ribuan orang. Ketika peristiwa 1965 meletus, mereka sedang bertugas sebagai mahasiwa atau utusan Indonesia di organisasi-organisasi internasional. Oleh karena alasan yang sama dengan korban di dalam negeri, secara sewenang-wenang mereka dicabut paspornya. Akibatnya mereka tidak bisa pulang, sehingga hidup ‘kelayapan’ di luar negeri tanpa status kewarganegaraan (stateless).
Anggota PKI yang masih tersisa kemudian hidup dalam stigma sebagai pengkhianat bangsa. Secara moral mereka dianggap nista. Bagian tragisnya adalah hal ini mendera juga anak keturunan mereka. Mereka menjadi warga negara kelas dua yang mengalami diskriminasi dalam banyak perkara.
NU sebagai Korban
Salah satu pertanyaaan historis yang terabaikan hingga sekarang adalah apa yang terjadi dengan kelompok-kelompok sipil yang terlibat dalam pembunuhan massal PKI selama periode 1965-1966? Jika pertanyaan ini berhasil dijawab, maka kita setidaknya akan mengerti siapa yang diuntungkan oleh adanya itu. Tidak hanya itu, pertanyaan tersebut juga akan menggiring kita pada asumsi lain: bahwa kelompok-kelompok sipil yang terlibat dalam aksi tersebut juga adalah korban manipulasi tentara dan tumbal politik rezim Orde Baru yang baru berdiri.
Satu hal yang cukup pasti pasca-1965 adalah berdirinya negara Orde Baru yang telah berhasil menyingkirkan habis semua kekuatan pendukung Sukarno. Dalam hal ini posisi NU cukup dilematis. Sementara pada satu sisi NU adalah bagian dari skema nasionalis-agama-komunis-nya Sukarno mewakili unsur agama, pada sisi yang lain beberapa tokoh NU juga terlibat dari aksi-aksi penggulingan Sukarno di ujung masa kekuasaannya. Mengetahui posisi NU yang lentur seperti itu, Soeharto berhati-hati. Di awal periode kekuasaannya, dia hanya percaya pada tiga penyokong utamanya: tentara (ABRI), birokrasi, dan Golkar.
Bahkan bisa dikatakan, rezim Orde Baru pada periode awal kekuasaannya menunjukkan sikap Islam-fobia, selain tentu saja komunis-fobia yang warisannya masih awet hingga sekarang. Partai-partai Islam dibonsai ke dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam situasi ini, peran politik NU yang pada Pemilu 1955 merupakan partai ketiga terbesar dipangkas sedemikian rupa. Pada Pemilu 1971 dan 1974, orang-orang NU yang masih membandel dipangggil tentara dan dipaksa untuk mencoblos Golkar. Sayangnya cerita-cerita kelam pada periode ini belum banyak didokumentasikan.
Dengan demikian, NU sebagai sebuah lembaga tidak mendapatkan apa-apa terkait dengan keterlibatannya dalam pembunuhan massal 1965. Banser hanya dijadikan alat tentara. Beberapa cerita yang berkembang menyebutkan bahwa di beberapa daerah anggota Banser terpaksa ikut aksi pembunuhan massal bersama RPKAD karena dipaksa. Kalau tidak melakukan itu, dia akan segera dituduh terlibat pemberontakan PKI.
Kemungkinan Rekonsiliasi
Jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 membuka lembaran sejarah baru bagi para keluarga korban 1965. Mereka berharap adanya rehabilitasi terhadap hak kewarganegaraan mereka yang terampas selama ini. Bersama dengan itu, muncul berbagai penyelidikan yang menunjukkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius selama periode itu.
Pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, pemerintah Indonesia membuat terobosan penting. Secara pribadi Gus Dur meminta maaf kepada para keluarga korban Prahara 1965 dan mengajak semua kalangan, termasuk warga Nahdlatul Ulama (NU) untuk melakukan rekonsiliasi atau islah. Posisi Gus Dur yang selain presiden juga pemimpin NU membuat pernyataan ini sangat berpengaruh. Namun tindakan Gus Dur tersebut banyak disalahpahami termasuk oleh beberapa mantan anggota PKI sendiri. Dengan ajakan rekonsiliasi itu, Gus Dur sejatinya ingin mengingatkan bahwa kita—warga sipil—adalah sama-sama merupakan korban. Tidak ada yang diuntungkan oleh tragedi yang brutal itu kecuali para petualang politik kekuasaan yang membangun karir di atas piramida korban manusia.
Pada 2004 Undang-Undang No. 27 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) disahkan. Namun pada 2006 undang-undang tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Secara pribadi Susilo Bambang Yudhoyono ketika masih menjabat presiden sempat mewacanakan kemungkinan permohonan maaf negara terhadap para korban Prahara 1965, meski hal itu tidak pernah terrealisasi. Belakangan Presiden Jokowi juga menyatakan hal yang kurang lebih serupa, tetapi lagi-lagi baru sebatas wacana.
Sebagai penutup, menurut saya, rekonsiliasi 1965 tidak bisa tidak harus berlandaskan pada suatu kesadaran baru mengenai sejarah 1965 itu sendiri. Apa yang disebut korban tidak hanya anggota PKI, tetapi juga semua warga sipil yang kehilangan hak kewarganegaraannya di sekitar peristiwa itu. Oleh karena itu, sejarah 1965 harus dipahami secara luas sebagai perubahan dan kelanjutan periode sejarah sebelumnya. Memotong penafsiran historiografis hanya pada tahun 1965, baik hanya fokus pada periode sebelumnya maupun sesudahnya, akan berdampak fatal.
*) Amin Mudzakkir, Peneliti PSDR-LIPI dan Mahasiswa Doktor STF Driyarkara.
Oleh Amin Mudzakkir
Belakangan beredar kesan seolah-olah Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sungguh berbenturan. Kesan ini dikuatkan oleh terbitnya buku Benturan NU & PKI, 1948-1965 (Depok: Langgar Swadaya Nusantara, 2014) yang dianggap merupakan suara resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Buku ini terbit bukan tanpa alasan. Suara-suara yang menggambarkan keterlibatan NU, khususnya Barisan Ansor Serbaguna (Banser), dalam aksi pembunuhan massal anggota PKI selama Prahara 1965 terasa memojokan—misalnya, Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965 (Jakarta: Tempo Publishing, 2013). Seolah-olah NU sedemikian brutalnya. Merespons hal ini, tidak sedikit orang NU yang meradang.
Masalahnya, jika NU terlibat dalam pembunuhan massal anggota PKI selama Prahara 1965, apakah NU kemudian diuntungkan? Dengan ungkapan lain, apakah setelah tragedi itu NU keluar sebagai pemenang? Dengan mengajukan pertanyaan seperti ini, saya melihat kita bisa mendudukan perkaranya secara seimbang. Bagi kalangan internal NU, pertanyaan tersebut penting diajukan untuk mengevaluasi keterlibatannya dalam Prahara 1965. Jangan-jangan NU, seperti juga PKI, pada dasarnya adalah sama-sama korban dari suatu ambisi politik yang merendahkan martabat kemanusiaan?
Konteks Pra-1965
Setidaknya terdapat dua kelompok utama dalam perdebatan mengenai Prahara 1965 di Indonesia. Kelompok pertama selalu menekankan cerita-cerita tentang serangan kasar PKI, yang memuncak di Madiun 1948, terhadap lawan-lawannya. Kelompok kedua selalu menonjolkan kepiluan anggota PKI yang dibantai setelah kekalahan telak dan cepat Gerakan 30 September (Gestapu)/Gerakan 1 Oktober (Gestok).
Menurut saya, kedua kelompok tersebut menawarkan fakta yang sama-sama valid, sehingga jika sekarang kita berbicara tentang rekonsiliasi, maka ia harus mencakup periode sebelum dan setelah 1965. PKI jelas pihak yang kalah, korbannya paling banyak, efeknya masih membekas hingga sekarang. Meski demikian, lawan-lawan politik PKI dari kalangan sipil, termasuk NU, tidak bisa dikatakan sebagai pemenang. Mereka adalah korban dari manipulasi dan ambisi politik biadab penguasa militer Orde Baru yang secara cerdik memanfaatkan situasi tidak menentu pada masa itu.
Selain dinamika aktor seperti dijelaskan di atas, struktur politik ekonomi pada tataran internasional dan domestik turut menghadap-hadapkan warga sipil pada posisi saling berseberangan. Kita tahu Perang Dingin pada waktu itu memberi pengaruh kuat, sehingga situasi menjadi sangat konfliktual. Perseteruan bukan hanya antara blok Barat (AS-Kapitalis) dan blok Timur (US-Komunis), tetapi juga terjadi di kalangan komunis, yaitu antara Moskow dan Peking. Dua blok komunis internasional ini saling berebut pengaruh. PKI di bawah Aidit lebih dekat dengan Peking, berbeda dengan PKI sebelumnya di bawah Musso yang menginduk ke Moskow.
Pada tingkat lokal, perseteruan di antara individu dan kelompok sosial semakin memanas setelah munculnya isu aksi sepihak. Berdasarkan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pemerintah berkewajiban mendistribusikan lahan kepada para petani tuna tanah. UU ini sendiri adalah respons terhadap proyek nasionalisasi aset-aset peninggalan Belanda di Indonesia. Namun kenyataannya program reforma agraria tersebut kurang berjalan mulus sehingga menimbulkan banyak sengketa. Dalam situasi ini, PKI sering melakukan agitasi yang dipandang berlebihan oleh lawan-lawan politiknya.
Perseteruan melebar hingga ke urusan kebudayaan. Harap diingat pada masa itu Indonesia belum lama merdeka dan berbagai pihak memperebutkan tafsir mengenai bagaimana Indonesia seharusnya. Dari kalangan Muslim muncul Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) dan Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) yang sering berseteru dengan para aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Perseteruan tersebut kadang berlangsung keras. Secara simbolis salah satu puncak perseteruan itu mengemuka dalam penandatanganan Manifesto Kebudayaan oleh beberapa aktivis yang dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang telah dibubarkan oleh Sukarno.
Dalam situasi yang semakin memanas menjelang 1965, orang-orang percaya bahwa pilihannya adalah ‘membunuh’ atau ‘dibunuh’. Situasi ini diperparah dengan kelambanan Sukarno beberapa saat setelah terjadinya peristiwa pembunuhan enam orang petinggi Angkatan Darat pada malam 1 Oktober 1965. Dia tidak segera mengeluarkan keputusan tegas mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dan harus bagaimana mengatasinya. Melihat kondisi yang tidak menentu ini, Soeharto sebagai Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) melakukan aksinya dengan sangat efektif. Dia segera mengamankan ibukota dan memerintahkan tentara, khususnya Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD ) di bawah Sarwo Edhie Wibowo, untuk menumpas keberadaan PKI di beberapa daerah.
1965 sebagai Titik Balik
Peristiwa 1965 adalah titik balik dalam sejarah Indonesia. Setelah terjadi pembunuhan enam orang jenderal dan seorang kapten Angkatan Darat di Jakarta, suatu prahara terjadi dengan meminta korban jiwa berkisar antara 300 ribu hingga 2,5 juta orang. Masalahnya, hingga hari ini Prahara 1965 itu masih diselubungi tabir kelam. Dalam historiografi resmi yang disusun selama Orde Baru, narasi yang ditampilkan dibatasi pada peristiwa pembunuhan para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai pelakunya.
Akan tetapi, prahara sesungguhnya justru terjadi setelah itu. Sejak Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Sukarno, pembunuhan terhadap siapa saja yang dituduh terlibat PKI berlangsung massif. Pembunuhan massal ini dilakukan secara terorganisasi oleh militer (Angkatan Darat) dengan bantuan beberapa kelompok sipil. Ladang pembantaian terbesar berada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara selama kurun akhir 1965 hingga pertengahan 1966.
Anggota PKI yang tidak dibunuh dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik tanpa melewati proses pengadilan. Jumlahnya mencapai 15.000 orang. Pada tahun 1979 secara berangsur para tapol tersebut dibebaskan. Meski demikian, mereka tidak pernah memperoleh hak sebagai warga negara sepenuhnya. Selain itu, terdapat juga kaum eksil di luar negeri yang jumlahnya ribuan orang. Ketika peristiwa 1965 meletus, mereka sedang bertugas sebagai mahasiwa atau utusan Indonesia di organisasi-organisasi internasional. Oleh karena alasan yang sama dengan korban di dalam negeri, secara sewenang-wenang mereka dicabut paspornya. Akibatnya mereka tidak bisa pulang, sehingga hidup ‘kelayapan’ di luar negeri tanpa status kewarganegaraan (stateless).
Anggota PKI yang masih tersisa kemudian hidup dalam stigma sebagai pengkhianat bangsa. Secara moral mereka dianggap nista. Bagian tragisnya adalah hal ini mendera juga anak keturunan mereka. Mereka menjadi warga negara kelas dua yang mengalami diskriminasi dalam banyak perkara.
NU sebagai Korban
Salah satu pertanyaaan historis yang terabaikan hingga sekarang adalah apa yang terjadi dengan kelompok-kelompok sipil yang terlibat dalam pembunuhan massal PKI selama periode 1965-1966? Jika pertanyaan ini berhasil dijawab, maka kita setidaknya akan mengerti siapa yang diuntungkan oleh adanya itu. Tidak hanya itu, pertanyaan tersebut juga akan menggiring kita pada asumsi lain: bahwa kelompok-kelompok sipil yang terlibat dalam aksi tersebut juga adalah korban manipulasi tentara dan tumbal politik rezim Orde Baru yang baru berdiri.
Satu hal yang cukup pasti pasca-1965 adalah berdirinya negara Orde Baru yang telah berhasil menyingkirkan habis semua kekuatan pendukung Sukarno. Dalam hal ini posisi NU cukup dilematis. Sementara pada satu sisi NU adalah bagian dari skema nasionalis-agama-komunis-nya Sukarno mewakili unsur agama, pada sisi yang lain beberapa tokoh NU juga terlibat dari aksi-aksi penggulingan Sukarno di ujung masa kekuasaannya. Mengetahui posisi NU yang lentur seperti itu, Soeharto berhati-hati. Di awal periode kekuasaannya, dia hanya percaya pada tiga penyokong utamanya: tentara (ABRI), birokrasi, dan Golkar.
Bahkan bisa dikatakan, rezim Orde Baru pada periode awal kekuasaannya menunjukkan sikap Islam-fobia, selain tentu saja komunis-fobia yang warisannya masih awet hingga sekarang. Partai-partai Islam dibonsai ke dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam situasi ini, peran politik NU yang pada Pemilu 1955 merupakan partai ketiga terbesar dipangkas sedemikian rupa. Pada Pemilu 1971 dan 1974, orang-orang NU yang masih membandel dipangggil tentara dan dipaksa untuk mencoblos Golkar. Sayangnya cerita-cerita kelam pada periode ini belum banyak didokumentasikan.
Dengan demikian, NU sebagai sebuah lembaga tidak mendapatkan apa-apa terkait dengan keterlibatannya dalam pembunuhan massal 1965. Banser hanya dijadikan alat tentara. Beberapa cerita yang berkembang menyebutkan bahwa di beberapa daerah anggota Banser terpaksa ikut aksi pembunuhan massal bersama RPKAD karena dipaksa. Kalau tidak melakukan itu, dia akan segera dituduh terlibat pemberontakan PKI.
Kemungkinan Rekonsiliasi
Jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 membuka lembaran sejarah baru bagi para keluarga korban 1965. Mereka berharap adanya rehabilitasi terhadap hak kewarganegaraan mereka yang terampas selama ini. Bersama dengan itu, muncul berbagai penyelidikan yang menunjukkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius selama periode itu.
Pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, pemerintah Indonesia membuat terobosan penting. Secara pribadi Gus Dur meminta maaf kepada para keluarga korban Prahara 1965 dan mengajak semua kalangan, termasuk warga Nahdlatul Ulama (NU) untuk melakukan rekonsiliasi atau islah. Posisi Gus Dur yang selain presiden juga pemimpin NU membuat pernyataan ini sangat berpengaruh. Namun tindakan Gus Dur tersebut banyak disalahpahami termasuk oleh beberapa mantan anggota PKI sendiri. Dengan ajakan rekonsiliasi itu, Gus Dur sejatinya ingin mengingatkan bahwa kita—warga sipil—adalah sama-sama merupakan korban. Tidak ada yang diuntungkan oleh tragedi yang brutal itu kecuali para petualang politik kekuasaan yang membangun karir di atas piramida korban manusia.
Pada 2004 Undang-Undang No. 27 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) disahkan. Namun pada 2006 undang-undang tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Secara pribadi Susilo Bambang Yudhoyono ketika masih menjabat presiden sempat mewacanakan kemungkinan permohonan maaf negara terhadap para korban Prahara 1965, meski hal itu tidak pernah terrealisasi. Belakangan Presiden Jokowi juga menyatakan hal yang kurang lebih serupa, tetapi lagi-lagi baru sebatas wacana.
Sebagai penutup, menurut saya, rekonsiliasi 1965 tidak bisa tidak harus berlandaskan pada suatu kesadaran baru mengenai sejarah 1965 itu sendiri. Apa yang disebut korban tidak hanya anggota PKI, tetapi juga semua warga sipil yang kehilangan hak kewarganegaraannya di sekitar peristiwa itu. Oleh karena itu, sejarah 1965 harus dipahami secara luas sebagai perubahan dan kelanjutan periode sejarah sebelumnya. Memotong penafsiran historiografis hanya pada tahun 1965, baik hanya fokus pada periode sebelumnya maupun sesudahnya, akan berdampak fatal.
Belakangan beredar kesan seolah-olah Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sungguh berbenturan. Kesan ini dikuatkan oleh terbitnya buku Benturan NU & PKI, 1948-1965 (Depok: Langgar Swadaya Nusantara, 2014) yang dianggap merupakan suara resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Buku ini terbit bukan tanpa alasan. Suara-suara yang menggambarkan keterlibatan NU, khususnya Barisan Ansor Serbaguna (Banser), dalam aksi pembunuhan massal anggota PKI selama Prahara 1965 terasa memojokan—misalnya, Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965 (Jakarta: Tempo Publishing, 2013). Seolah-olah NU sedemikian brutalnya. Merespons hal ini, tidak sedikit orang NU yang meradang.
Masalahnya, jika NU terlibat dalam pembunuhan massal anggota PKI selama Prahara 1965, apakah NU kemudian diuntungkan? Dengan ungkapan lain, apakah setelah tragedi itu NU keluar sebagai pemenang? Dengan mengajukan pertanyaan seperti ini, saya melihat kita bisa mendudukan perkaranya secara seimbang. Bagi kalangan internal NU, pertanyaan tersebut penting diajukan untuk mengevaluasi keterlibatannya dalam Prahara 1965. Jangan-jangan NU, seperti juga PKI, pada dasarnya adalah sama-sama korban dari suatu ambisi politik yang merendahkan martabat kemanusiaan?
Konteks Pra-1965
Setidaknya terdapat dua kelompok utama dalam perdebatan mengenai Prahara 1965 di Indonesia. Kelompok pertama selalu menekankan cerita-cerita tentang serangan kasar PKI, yang memuncak di Madiun 1948, terhadap lawan-lawannya. Kelompok kedua selalu menonjolkan kepiluan anggota PKI yang dibantai setelah kekalahan telak dan cepat Gerakan 30 September (Gestapu)/Gerakan 1 Oktober (Gestok).
Menurut saya, kedua kelompok tersebut menawarkan fakta yang sama-sama valid, sehingga jika sekarang kita berbicara tentang rekonsiliasi, maka ia harus mencakup periode sebelum dan setelah 1965. PKI jelas pihak yang kalah, korbannya paling banyak, efeknya masih membekas hingga sekarang. Meski demikian, lawan-lawan politik PKI dari kalangan sipil, termasuk NU, tidak bisa dikatakan sebagai pemenang. Mereka adalah korban dari manipulasi dan ambisi politik biadab penguasa militer Orde Baru yang secara cerdik memanfaatkan situasi tidak menentu pada masa itu.
Selain dinamika aktor seperti dijelaskan di atas, struktur politik ekonomi pada tataran internasional dan domestik turut menghadap-hadapkan warga sipil pada posisi saling berseberangan. Kita tahu Perang Dingin pada waktu itu memberi pengaruh kuat, sehingga situasi menjadi sangat konfliktual. Perseteruan bukan hanya antara blok Barat (AS-Kapitalis) dan blok Timur (US-Komunis), tetapi juga terjadi di kalangan komunis, yaitu antara Moskow dan Peking. Dua blok komunis internasional ini saling berebut pengaruh. PKI di bawah Aidit lebih dekat dengan Peking, berbeda dengan PKI sebelumnya di bawah Musso yang menginduk ke Moskow.
Pada tingkat lokal, perseteruan di antara individu dan kelompok sosial semakin memanas setelah munculnya isu aksi sepihak. Berdasarkan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pemerintah berkewajiban mendistribusikan lahan kepada para petani tuna tanah. UU ini sendiri adalah respons terhadap proyek nasionalisasi aset-aset peninggalan Belanda di Indonesia. Namun kenyataannya program reforma agraria tersebut kurang berjalan mulus sehingga menimbulkan banyak sengketa. Dalam situasi ini, PKI sering melakukan agitasi yang dipandang berlebihan oleh lawan-lawan politiknya.
Perseteruan melebar hingga ke urusan kebudayaan. Harap diingat pada masa itu Indonesia belum lama merdeka dan berbagai pihak memperebutkan tafsir mengenai bagaimana Indonesia seharusnya. Dari kalangan Muslim muncul Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) dan Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) yang sering berseteru dengan para aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Perseteruan tersebut kadang berlangsung keras. Secara simbolis salah satu puncak perseteruan itu mengemuka dalam penandatanganan Manifesto Kebudayaan oleh beberapa aktivis yang dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang telah dibubarkan oleh Sukarno.
Dalam situasi yang semakin memanas menjelang 1965, orang-orang percaya bahwa pilihannya adalah ‘membunuh’ atau ‘dibunuh’. Situasi ini diperparah dengan kelambanan Sukarno beberapa saat setelah terjadinya peristiwa pembunuhan enam orang petinggi Angkatan Darat pada malam 1 Oktober 1965. Dia tidak segera mengeluarkan keputusan tegas mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dan harus bagaimana mengatasinya. Melihat kondisi yang tidak menentu ini, Soeharto sebagai Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) melakukan aksinya dengan sangat efektif. Dia segera mengamankan ibukota dan memerintahkan tentara, khususnya Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD ) di bawah Sarwo Edhie Wibowo, untuk menumpas keberadaan PKI di beberapa daerah.
1965 sebagai Titik Balik
Peristiwa 1965 adalah titik balik dalam sejarah Indonesia. Setelah terjadi pembunuhan enam orang jenderal dan seorang kapten Angkatan Darat di Jakarta, suatu prahara terjadi dengan meminta korban jiwa berkisar antara 300 ribu hingga 2,5 juta orang. Masalahnya, hingga hari ini Prahara 1965 itu masih diselubungi tabir kelam. Dalam historiografi resmi yang disusun selama Orde Baru, narasi yang ditampilkan dibatasi pada peristiwa pembunuhan para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai pelakunya.
Akan tetapi, prahara sesungguhnya justru terjadi setelah itu. Sejak Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Sukarno, pembunuhan terhadap siapa saja yang dituduh terlibat PKI berlangsung massif. Pembunuhan massal ini dilakukan secara terorganisasi oleh militer (Angkatan Darat) dengan bantuan beberapa kelompok sipil. Ladang pembantaian terbesar berada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara selama kurun akhir 1965 hingga pertengahan 1966.
Anggota PKI yang tidak dibunuh dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik tanpa melewati proses pengadilan. Jumlahnya mencapai 15.000 orang. Pada tahun 1979 secara berangsur para tapol tersebut dibebaskan. Meski demikian, mereka tidak pernah memperoleh hak sebagai warga negara sepenuhnya. Selain itu, terdapat juga kaum eksil di luar negeri yang jumlahnya ribuan orang. Ketika peristiwa 1965 meletus, mereka sedang bertugas sebagai mahasiwa atau utusan Indonesia di organisasi-organisasi internasional. Oleh karena alasan yang sama dengan korban di dalam negeri, secara sewenang-wenang mereka dicabut paspornya. Akibatnya mereka tidak bisa pulang, sehingga hidup ‘kelayapan’ di luar negeri tanpa status kewarganegaraan (stateless).
Anggota PKI yang masih tersisa kemudian hidup dalam stigma sebagai pengkhianat bangsa. Secara moral mereka dianggap nista. Bagian tragisnya adalah hal ini mendera juga anak keturunan mereka. Mereka menjadi warga negara kelas dua yang mengalami diskriminasi dalam banyak perkara.
NU sebagai Korban
Salah satu pertanyaaan historis yang terabaikan hingga sekarang adalah apa yang terjadi dengan kelompok-kelompok sipil yang terlibat dalam pembunuhan massal PKI selama periode 1965-1966? Jika pertanyaan ini berhasil dijawab, maka kita setidaknya akan mengerti siapa yang diuntungkan oleh adanya itu. Tidak hanya itu, pertanyaan tersebut juga akan menggiring kita pada asumsi lain: bahwa kelompok-kelompok sipil yang terlibat dalam aksi tersebut juga adalah korban manipulasi tentara dan tumbal politik rezim Orde Baru yang baru berdiri.
Satu hal yang cukup pasti pasca-1965 adalah berdirinya negara Orde Baru yang telah berhasil menyingkirkan habis semua kekuatan pendukung Sukarno. Dalam hal ini posisi NU cukup dilematis. Sementara pada satu sisi NU adalah bagian dari skema nasionalis-agama-komunis-nya Sukarno mewakili unsur agama, pada sisi yang lain beberapa tokoh NU juga terlibat dari aksi-aksi penggulingan Sukarno di ujung masa kekuasaannya. Mengetahui posisi NU yang lentur seperti itu, Soeharto berhati-hati. Di awal periode kekuasaannya, dia hanya percaya pada tiga penyokong utamanya: tentara (ABRI), birokrasi, dan Golkar.
Bahkan bisa dikatakan, rezim Orde Baru pada periode awal kekuasaannya menunjukkan sikap Islam-fobia, selain tentu saja komunis-fobia yang warisannya masih awet hingga sekarang. Partai-partai Islam dibonsai ke dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam situasi ini, peran politik NU yang pada Pemilu 1955 merupakan partai ketiga terbesar dipangkas sedemikian rupa. Pada Pemilu 1971 dan 1974, orang-orang NU yang masih membandel dipangggil tentara dan dipaksa untuk mencoblos Golkar. Sayangnya cerita-cerita kelam pada periode ini belum banyak didokumentasikan.
Dengan demikian, NU sebagai sebuah lembaga tidak mendapatkan apa-apa terkait dengan keterlibatannya dalam pembunuhan massal 1965. Banser hanya dijadikan alat tentara. Beberapa cerita yang berkembang menyebutkan bahwa di beberapa daerah anggota Banser terpaksa ikut aksi pembunuhan massal bersama RPKAD karena dipaksa. Kalau tidak melakukan itu, dia akan segera dituduh terlibat pemberontakan PKI.
Kemungkinan Rekonsiliasi
Jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 membuka lembaran sejarah baru bagi para keluarga korban 1965. Mereka berharap adanya rehabilitasi terhadap hak kewarganegaraan mereka yang terampas selama ini. Bersama dengan itu, muncul berbagai penyelidikan yang menunjukkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius selama periode itu.
Pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, pemerintah Indonesia membuat terobosan penting. Secara pribadi Gus Dur meminta maaf kepada para keluarga korban Prahara 1965 dan mengajak semua kalangan, termasuk warga Nahdlatul Ulama (NU) untuk melakukan rekonsiliasi atau islah. Posisi Gus Dur yang selain presiden juga pemimpin NU membuat pernyataan ini sangat berpengaruh. Namun tindakan Gus Dur tersebut banyak disalahpahami termasuk oleh beberapa mantan anggota PKI sendiri. Dengan ajakan rekonsiliasi itu, Gus Dur sejatinya ingin mengingatkan bahwa kita—warga sipil—adalah sama-sama merupakan korban. Tidak ada yang diuntungkan oleh tragedi yang brutal itu kecuali para petualang politik kekuasaan yang membangun karir di atas piramida korban manusia.
Pada 2004 Undang-Undang No. 27 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) disahkan. Namun pada 2006 undang-undang tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Secara pribadi Susilo Bambang Yudhoyono ketika masih menjabat presiden sempat mewacanakan kemungkinan permohonan maaf negara terhadap para korban Prahara 1965, meski hal itu tidak pernah terrealisasi. Belakangan Presiden Jokowi juga menyatakan hal yang kurang lebih serupa, tetapi lagi-lagi baru sebatas wacana.
Sebagai penutup, menurut saya, rekonsiliasi 1965 tidak bisa tidak harus berlandaskan pada suatu kesadaran baru mengenai sejarah 1965 itu sendiri. Apa yang disebut korban tidak hanya anggota PKI, tetapi juga semua warga sipil yang kehilangan hak kewarganegaraannya di sekitar peristiwa itu. Oleh karena itu, sejarah 1965 harus dipahami secara luas sebagai perubahan dan kelanjutan periode sejarah sebelumnya. Memotong penafsiran historiografis hanya pada tahun 1965, baik hanya fokus pada periode sebelumnya maupun sesudahnya, akan berdampak fatal.
*) Amin Mudzakkir, Peneliti PSDR-LIPI dan Mahasiswa Doktor STF Driyarkara.
Belakangan beredar kesan seolah-olah Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) sungguh berbenturan. Kesan ini dikuatkan oleh terbitnya buku Benturan NU & PKI, 1948-1965 (Depok: Langgar Swadaya Nusantara, 2014) yang dianggap merupakan suara resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Buku ini terbit bukan tanpa alasan. Suara-suara yang menggambarkan keterlibatan NU, khususnya Barisan Ansor Serbaguna (Banser), dalam aksi pembunuhan massal anggota PKI selama Prahara 1965 terasa memojokan—misalnya, Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965 (Jakarta: Tempo Publishing, 2013). Seolah-olah NU sedemikian brutalnya. Merespons hal ini, tidak sedikit orang NU yang meradang.
Masalahnya, jika NU terlibat dalam pembunuhan massal anggota PKI selama Prahara 1965, apakah NU kemudian diuntungkan? Dengan ungkapan lain, apakah setelah tragedi itu NU keluar sebagai pemenang? Dengan mengajukan pertanyaan seperti ini, saya melihat kita bisa mendudukan perkaranya secara seimbang. Bagi kalangan internal NU, pertanyaan tersebut penting diajukan untuk mengevaluasi keterlibatannya dalam Prahara 1965. Jangan-jangan NU, seperti juga PKI, pada dasarnya adalah sama-sama korban dari suatu ambisi politik yang merendahkan martabat kemanusiaan?
Konteks Pra-1965
Setidaknya terdapat dua kelompok utama dalam perdebatan mengenai Prahara 1965 di Indonesia. Kelompok pertama selalu menekankan cerita-cerita tentang serangan kasar PKI, yang memuncak di Madiun 1948, terhadap lawan-lawannya. Kelompok kedua selalu menonjolkan kepiluan anggota PKI yang dibantai setelah kekalahan telak dan cepat Gerakan 30 September (Gestapu)/Gerakan 1 Oktober (Gestok).
Menurut saya, kedua kelompok tersebut menawarkan fakta yang sama-sama valid, sehingga jika sekarang kita berbicara tentang rekonsiliasi, maka ia harus mencakup periode sebelum dan setelah 1965. PKI jelas pihak yang kalah, korbannya paling banyak, efeknya masih membekas hingga sekarang. Meski demikian, lawan-lawan politik PKI dari kalangan sipil, termasuk NU, tidak bisa dikatakan sebagai pemenang. Mereka adalah korban dari manipulasi dan ambisi politik biadab penguasa militer Orde Baru yang secara cerdik memanfaatkan situasi tidak menentu pada masa itu.
Selain dinamika aktor seperti dijelaskan di atas, struktur politik ekonomi pada tataran internasional dan domestik turut menghadap-hadapkan warga sipil pada posisi saling berseberangan. Kita tahu Perang Dingin pada waktu itu memberi pengaruh kuat, sehingga situasi menjadi sangat konfliktual. Perseteruan bukan hanya antara blok Barat (AS-Kapitalis) dan blok Timur (US-Komunis), tetapi juga terjadi di kalangan komunis, yaitu antara Moskow dan Peking. Dua blok komunis internasional ini saling berebut pengaruh. PKI di bawah Aidit lebih dekat dengan Peking, berbeda dengan PKI sebelumnya di bawah Musso yang menginduk ke Moskow.
Pada tingkat lokal, perseteruan di antara individu dan kelompok sosial semakin memanas setelah munculnya isu aksi sepihak. Berdasarkan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pemerintah berkewajiban mendistribusikan lahan kepada para petani tuna tanah. UU ini sendiri adalah respons terhadap proyek nasionalisasi aset-aset peninggalan Belanda di Indonesia. Namun kenyataannya program reforma agraria tersebut kurang berjalan mulus sehingga menimbulkan banyak sengketa. Dalam situasi ini, PKI sering melakukan agitasi yang dipandang berlebihan oleh lawan-lawan politiknya.
Perseteruan melebar hingga ke urusan kebudayaan. Harap diingat pada masa itu Indonesia belum lama merdeka dan berbagai pihak memperebutkan tafsir mengenai bagaimana Indonesia seharusnya. Dari kalangan Muslim muncul Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) dan Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) yang sering berseteru dengan para aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Perseteruan tersebut kadang berlangsung keras. Secara simbolis salah satu puncak perseteruan itu mengemuka dalam penandatanganan Manifesto Kebudayaan oleh beberapa aktivis yang dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang telah dibubarkan oleh Sukarno.
Dalam situasi yang semakin memanas menjelang 1965, orang-orang percaya bahwa pilihannya adalah ‘membunuh’ atau ‘dibunuh’. Situasi ini diperparah dengan kelambanan Sukarno beberapa saat setelah terjadinya peristiwa pembunuhan enam orang petinggi Angkatan Darat pada malam 1 Oktober 1965. Dia tidak segera mengeluarkan keputusan tegas mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dan harus bagaimana mengatasinya. Melihat kondisi yang tidak menentu ini, Soeharto sebagai Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) melakukan aksinya dengan sangat efektif. Dia segera mengamankan ibukota dan memerintahkan tentara, khususnya Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD ) di bawah Sarwo Edhie Wibowo, untuk menumpas keberadaan PKI di beberapa daerah.
1965 sebagai Titik Balik
Peristiwa 1965 adalah titik balik dalam sejarah Indonesia. Setelah terjadi pembunuhan enam orang jenderal dan seorang kapten Angkatan Darat di Jakarta, suatu prahara terjadi dengan meminta korban jiwa berkisar antara 300 ribu hingga 2,5 juta orang. Masalahnya, hingga hari ini Prahara 1965 itu masih diselubungi tabir kelam. Dalam historiografi resmi yang disusun selama Orde Baru, narasi yang ditampilkan dibatasi pada peristiwa pembunuhan para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai pelakunya.
Akan tetapi, prahara sesungguhnya justru terjadi setelah itu. Sejak Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Sukarno, pembunuhan terhadap siapa saja yang dituduh terlibat PKI berlangsung massif. Pembunuhan massal ini dilakukan secara terorganisasi oleh militer (Angkatan Darat) dengan bantuan beberapa kelompok sipil. Ladang pembantaian terbesar berada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara selama kurun akhir 1965 hingga pertengahan 1966.
Anggota PKI yang tidak dibunuh dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik tanpa melewati proses pengadilan. Jumlahnya mencapai 15.000 orang. Pada tahun 1979 secara berangsur para tapol tersebut dibebaskan. Meski demikian, mereka tidak pernah memperoleh hak sebagai warga negara sepenuhnya. Selain itu, terdapat juga kaum eksil di luar negeri yang jumlahnya ribuan orang. Ketika peristiwa 1965 meletus, mereka sedang bertugas sebagai mahasiwa atau utusan Indonesia di organisasi-organisasi internasional. Oleh karena alasan yang sama dengan korban di dalam negeri, secara sewenang-wenang mereka dicabut paspornya. Akibatnya mereka tidak bisa pulang, sehingga hidup ‘kelayapan’ di luar negeri tanpa status kewarganegaraan (stateless).
Anggota PKI yang masih tersisa kemudian hidup dalam stigma sebagai pengkhianat bangsa. Secara moral mereka dianggap nista. Bagian tragisnya adalah hal ini mendera juga anak keturunan mereka. Mereka menjadi warga negara kelas dua yang mengalami diskriminasi dalam banyak perkara.
NU sebagai Korban
Salah satu pertanyaaan historis yang terabaikan hingga sekarang adalah apa yang terjadi dengan kelompok-kelompok sipil yang terlibat dalam pembunuhan massal PKI selama periode 1965-1966? Jika pertanyaan ini berhasil dijawab, maka kita setidaknya akan mengerti siapa yang diuntungkan oleh adanya itu. Tidak hanya itu, pertanyaan tersebut juga akan menggiring kita pada asumsi lain: bahwa kelompok-kelompok sipil yang terlibat dalam aksi tersebut juga adalah korban manipulasi tentara dan tumbal politik rezim Orde Baru yang baru berdiri.
Satu hal yang cukup pasti pasca-1965 adalah berdirinya negara Orde Baru yang telah berhasil menyingkirkan habis semua kekuatan pendukung Sukarno. Dalam hal ini posisi NU cukup dilematis. Sementara pada satu sisi NU adalah bagian dari skema nasionalis-agama-komunis-nya Sukarno mewakili unsur agama, pada sisi yang lain beberapa tokoh NU juga terlibat dari aksi-aksi penggulingan Sukarno di ujung masa kekuasaannya. Mengetahui posisi NU yang lentur seperti itu, Soeharto berhati-hati. Di awal periode kekuasaannya, dia hanya percaya pada tiga penyokong utamanya: tentara (ABRI), birokrasi, dan Golkar.
Bahkan bisa dikatakan, rezim Orde Baru pada periode awal kekuasaannya menunjukkan sikap Islam-fobia, selain tentu saja komunis-fobia yang warisannya masih awet hingga sekarang. Partai-partai Islam dibonsai ke dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam situasi ini, peran politik NU yang pada Pemilu 1955 merupakan partai ketiga terbesar dipangkas sedemikian rupa. Pada Pemilu 1971 dan 1974, orang-orang NU yang masih membandel dipangggil tentara dan dipaksa untuk mencoblos Golkar. Sayangnya cerita-cerita kelam pada periode ini belum banyak didokumentasikan.
Dengan demikian, NU sebagai sebuah lembaga tidak mendapatkan apa-apa terkait dengan keterlibatannya dalam pembunuhan massal 1965. Banser hanya dijadikan alat tentara. Beberapa cerita yang berkembang menyebutkan bahwa di beberapa daerah anggota Banser terpaksa ikut aksi pembunuhan massal bersama RPKAD karena dipaksa. Kalau tidak melakukan itu, dia akan segera dituduh terlibat pemberontakan PKI.
Kemungkinan Rekonsiliasi
Jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 membuka lembaran sejarah baru bagi para keluarga korban 1965. Mereka berharap adanya rehabilitasi terhadap hak kewarganegaraan mereka yang terampas selama ini. Bersama dengan itu, muncul berbagai penyelidikan yang menunjukkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius selama periode itu.
Pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, pemerintah Indonesia membuat terobosan penting. Secara pribadi Gus Dur meminta maaf kepada para keluarga korban Prahara 1965 dan mengajak semua kalangan, termasuk warga Nahdlatul Ulama (NU) untuk melakukan rekonsiliasi atau islah. Posisi Gus Dur yang selain presiden juga pemimpin NU membuat pernyataan ini sangat berpengaruh. Namun tindakan Gus Dur tersebut banyak disalahpahami termasuk oleh beberapa mantan anggota PKI sendiri. Dengan ajakan rekonsiliasi itu, Gus Dur sejatinya ingin mengingatkan bahwa kita—warga sipil—adalah sama-sama merupakan korban. Tidak ada yang diuntungkan oleh tragedi yang brutal itu kecuali para petualang politik kekuasaan yang membangun karir di atas piramida korban manusia.
Pada 2004 Undang-Undang No. 27 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) disahkan. Namun pada 2006 undang-undang tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Secara pribadi Susilo Bambang Yudhoyono ketika masih menjabat presiden sempat mewacanakan kemungkinan permohonan maaf negara terhadap para korban Prahara 1965, meski hal itu tidak pernah terrealisasi. Belakangan Presiden Jokowi juga menyatakan hal yang kurang lebih serupa, tetapi lagi-lagi baru sebatas wacana.
Sebagai penutup, menurut saya, rekonsiliasi 1965 tidak bisa tidak harus berlandaskan pada suatu kesadaran baru mengenai sejarah 1965 itu sendiri. Apa yang disebut korban tidak hanya anggota PKI, tetapi juga semua warga sipil yang kehilangan hak kewarganegaraannya di sekitar peristiwa itu. Oleh karena itu, sejarah 1965 harus dipahami secara luas sebagai perubahan dan kelanjutan periode sejarah sebelumnya. Memotong penafsiran historiografis hanya pada tahun 1965, baik hanya fokus pada periode sebelumnya maupun sesudahnya, akan berdampak fatal.