POSMETRO INFO - Presiden Jokowi meminta tidak ada kenaikan iuran
BPJS Kesehatan saat bertemu dengan Menko Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (PMK) Puan Maharani dan Dirut BPJS Kesehatan. Permintaan itu
dinilai aneh karena Jokowi sendiri yang tanda tangan kenaikan iuran BPJS
Kesehatan.
“Bapak Presiden tandatangan Perpres 19/2016 yang isinya menaikan iuran
peserta mandiri dan pekerja formal. Halo Pak Presiden, Bapak tahu tidak
sih ada kenaikan iuran ini? Atau Bapak dibohongin pembantu Bapak?” ujar
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, Jumat (11/2).
Timboel mengatakan, iuran peserta mandiri kelas 3 naik dari Rp 25.500
menjadi 30.000 per orang per bulan. Kelas 2 naik dari Rp 42.500 menjadi
Rp 51.000 dan kelas 1 dari Rp 59.500 menjadi Rp 80.000. Demikian juga
iuran pekerja formal naik 2 persen. Sementara itu, iuran pengusaha turun
jadi 3 persen.
Menurutnya, besaran iuran yang ditetapkan dalam Perpres 19/2016
mencerminkan ketidakadilan. Timboel mencontohkan, jika mau adil
seharusnya iuran PBI bukan Rp 23.000 tapi Rp 30.000 per bulan karena
iuran peserta mandiri sudah dinaikkan menjadi Rp 30.000 per bulan.
“Pemerintah punya anggaran. Bukankah pemerintah sudah berkomitmen
mengalokasikan 5 persen APBN untuk kesehatan. Kalau 5 persen x 2000
triliun = 100 triliun, sementara kalau iuran PBI jadi 30.000 maka
alokasi APBN menjadi 30.000 x 92.4 juta orang x 12 bulan = 33.26
triliun. Masih ada 66.74 triliun yang bisa digunakan Kemenkes,” tambah
Timboel.
“Ini menujukkan keberpihakan politik anggaran pemerintah untuk BPJS masih sangat rendah,” katanya menekankan.
Ketidakadilan kedua, kata Timboel, iuran peserta mandiri dinaikan tetapi
hal yang sama tidak dilakukan terhadap pekerja formal atau PPU
(peserta penerima upah). Padahal mestinya, batas atas atau plafon iuran
dinaikkan jadi 3 atau 4 PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak).
“Selama ini hanya 2 PTKP. Kenaikan plafon ini bisa mendukung kenaikan iuran,” tukasnya.
sumber : pojoksatu.com
sumber : pojoksatu.com